INTERRELASI NILAI JAWA DAN ISLAM DALAM BIDANG KESENIAN, PEWAYANGAN
I. Pendahuluan
Kebudayaan yang berkembang di Jawa sangatlah beragam, hal itu tidak lepas dari pengaruh Agama-agama yang masuk ke Indonesia pada abad pertengahan, yaitu Hindu, Budha dan Islam. Jika dilihat dari keberhasilan asimilasi budaya yang terjadi, Islam dipandang jauh lebih sukses berasimilasi dari pada Hindu-Budha yang masuk lebih awal. Hal itu karena cara mereka yang lebih halus dalam menyebarkan agama dan juga sasaran penyebaran yang lebih beragam. Sarana penyebarannya pun mengikuti budaya dan tradisi yang telah berakar pada masyarakat Jawa tanpa harus menghilangkan nilai-nilai keIslamannya yang kental. Hal tersebut dapat dibuktikan dalam bidang kesenian, kekentalan pengajaran moral Islam yang disisipkan dengan halus dalam tembang macapat, tembang-tembang dolanan dan bahkan dalam kesenian wayang.
Interelasi nilai Jawa dan Islam dalam aspek wayang merupakan salah satu bagian khas dari proses perkembangan budaya di Jawa. Wayang merupakan suatu produk budaya manusia yang didalamnya terkandung seni estetis. Wayang berfungsi sebagai tontonan dan juga sebagai tuntunan kehidupan. Antara wayang dan budaya Jawa ibarat sekeping uang logam yang tak terpisahkan. Hal ini dapat dilihat dari rumah adat Jawa yang terdiri dari emper, pendopo, pringgitan, omah mburi, sentong, longkang dan pawon. Disebut pringgitan karena dipakai sebagai tempat khusus untuk menggelar ringgit atau wayang kulit. Wayang mengandung makna lebih jauh dan mendalam karena mengungkapkan gambaran hidup semesta. Wayang dapat menggambarkan lakon kehidupan umat manusia dengan segala masalahnya. Dalam dunia tersimpan nilai-nilai pandangan hidup Jawa dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan dalam kesulitan hidup.
II. Rumusan Masalah
Pemakalah akan membahas tentang Kesenian tradisi Jawa, Perpaduan seni Islam dan Jawa dalam pewayangan.
A. Kesenian tradisi Jawa
B. Perpaduan nilai Islam dan Jawa dalam Pewayangan
III. Pembahasan
A. Kesenian tradisi Jawa.
Secara sempit seni tradisi Jawa berarti karya seni yang diciptakan dan berasal dari pulau Jawa. Beberapa contoh dari seni tradisional Jawa antara lain tari gambyong maupun berbagai jenis wayang. Dan secara kodrati budaya Jawa seperti halnya budaya lainnya, akan selalu mengalami proses perubahan atau perkembangan dalam arti yang luas. Pengembangan nilai budaya Jawa merupakan upaya secara sadar untuk secara terus menerus meningkatkan kualitasnya. Hasil upaya tersebut terletak pada etos masyarakat Jawa itu sendiri, yaitu aspek moral dan estetik budaya Jawa yang pada gilirannya tidak luput dari proses perubahan selagi perubahan budaya Jawa masih mengarah pada peningkatan kearah humanisme yang berarti ada perkembangan. Akan tetapi, jika terjadi sebaliknya justru akan terjadi kemerosotan, degradasi budaya Jawa.
Kehidupan kesenian yang dinamis memerlukan kehadiran seniman yang kreatif, karena seni yang berkualitas, kritikus seni yang berbobot dan masyarakat pendukung yang mau dan mampu mengadaptasi seni secara semestinya. Akan tetapi dalam kehidupan modern sekarang ini, untuk mewujudkan kehidupan seni tradisi Jawa yang dinamis kehadiran keempat unsur tersebut belum cukup tanpa kehadiran seorang patron seni atau maecenas, yaitu pengayom seni yang giat dan kreatif yang bersedia mencurahkan pikiran, tenaga, waktu dan uang untuk mengembangkan seni tradisi Jawa.
Berbeda dengan kehidupan seni tradisi Jawa pada masa lampau yang menjadikan keraton sebagai pusat kekuasaan politik dan kebudayaan. Dengan menempatkan raja sebagai seorang maecenas dan dengan kekuasaan politik, sumber daya manusia yang dimiliknya, serta dukungan dari seluruh masyarakat, raja dapat mengembangkan seni tradisi Jawa sesuai dengan selera yang dikehendakinya. Oleh karena itu, seni tradisi Jawa dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Hal ini dapat kita lihat di Istana Mangkunegaran pada masa pemerintahan Mangkunegara IV (1853-1881), dimana pada masa pemerintahan tersebut perkembangan seni tradisi Jawa meliputi sastra, tari, pewayangan dan karawitan mengalami kemajuan yang pesat di Istana Mangkunegaran dibandingkan masa-masa sebelumnya bahkan sesudahnya. Semua itu dapat terwujud karena Mangkunegaran IV sangat memperhatikan dan ikut terlibat langsung dalam pengembangan bentuk-bentuk kesenian itu, baik sebagai pujangga maupun maecenas.
B. Perpaduan nilai Islam dan Jawa dalam Pewayangan
Wayang telah dikenal sejak zaman purba, yang merupakan perwujudan dari bayang-bayang nenek moyang. Dalam kepercayaan animisme dan dinamisme suatu kepercayaan yang dianut oleh masyarakat zaman itu, berkaitan bahwa ruh nenek moyang yang telah mati menjadi pelindung bagi manusia yang masih hidup . Masuknya kebudayaan Hindu mempengaruhi perkembangan pertunjukan bayang-bayang, yang kemudian dikenal dengan pertunjukan wayang. Kemudian kebudayaan Hindu itu berhasil diserap dan muncul kembali sebagai budaya Jawa-Hindu, pada masa itu menghasilkan seni wayang dengan kegunaan lebih luas. Wayang emmiliki berbagai ragam seni yang terkandung di dalamnya, yaitu : seni widya (filsafat dan pendidikan), seni drama (pentas dan kerawitan), seni gatra (mengenai tatahan dan sunggingan), seni ripta (sangigit dan kessusastraan), dan seni cipta (konsepsi dan ciptaan baru)
Seni yang merupakan hasil budaya manusia tidaklah sekedar bernilai keindahan, tapi juga bermakna simbolis. Hal ini tak hanya berlaku pada masyarakat dengan tingkat budaya rendah, tapi juga pada masyarakat dengan budaya yang sudah maju. Corak seni bermakna simbolis tersebut dapat disaksikan ditengah masyarakat Indonesia yang mempunyai berbagai macam seni daerah, antara lain seni pewayangan. Terdapat bermacam tradisi wayang dalam budaya Jawa, seperti wayang beber, wayang golek, wayang krucil, wayang kulit (purwa), dan sebagainya. Namun diantara kesemua itu, wayang kulitlah yang mempunyai banyak penggemar, juga satu-satunya jenis wayang yang masih eksis hingga sekarang.
Bila diamati wayang pada masa hindu bentuknya mendekati manusia yang digambarkan dari samping. Hala ini dapat dilihat dari aspek proporsi masing-masing bagian. Bagian kepala, badan, menggambarkan tangan yang sebatas paha, leher yang pendek dan besar, penggambaran kaki masih seperti manusia sebenarnya, walau telah mengalami stilasi yang secukupnya, kemudian penggambaran bahu yang pendek, bentuk mulut yang digayakan secara dekoratif, dapat diketehui bahwa penggambaran manusia pada wayang nampak jelas. Hal demikian itu digolongkan dalam larangan agama islam. Bentuk yang demikian dikhawatirkan akan memberikan imajinasi orang yang melihat untuk berfantasi, apalagi tokoh yang digambarkan adalah dewa-dewa, maka akan mendatangkan kemusyrikan. Melihat kenyataan itu para ahli mencari alternatif lain agar wayang tidak bertentangan dengan syari’at, melihat telah dikenalnya wayang dalam masyarakat dan telah menjadi salah satu kegemaran, merupakan aset besar untuk keperluan dakwah. Oleh karena itu akan menguntung bila dimanfaatkan sebagai sarana penyebaran agama islam.
Dalam penggambaran wayang yang paling nampak adalah postur dari tokoh-tokohnya, seperti wayang sebelum islam penggambarannya berdasar wujud yang dilihat dengan sedikit stilasi sesuai dengan materi dan tekniknya, sehingga hasilnya masih sanagt dekat dengan wujud manusia. Berdasarkan kepada pengalaman dan analisis terhadap wayang sebelum islam, maka para ahli yang didukung oleh para peneguasa, membuat wayang baru dengan stilasi dan deformasi berdasar pada pengertian tentang manusia. Oleh karena itu muncul penggambaran yang dipanjang-panjangkan, hidung lancip yang berlebihan untuk tokoh alusan, leher dibuat sebesar lengan dan panjang, kemudian penggambaran mulut dibuat berliku-liku, yang tidak dijumpai pada manusia. Stilasi dan deformasi yang dilakuakan hingga berhasil mengaambarkan bentuk wayang yang kemudian dikenal seperti sekrang ini. Berkaitan dengan perwujudan wayang dalam masa islam ini satu pendapat mengatakan bahwa : “sesungguhnya bentuk wayang merupakan suatu kaligrafi huruf Arab dari tulisan yang berbunyi Allah.”
Tradisi wayang adalah salah satu komponen kebudayaan Jawa yang paling kompleks dan canggih. Kebanyakan umat Muslim Kejawen menganggap wayang bisa mewujudkan hakikat kebenaran filosofis dan etika. Selain itu, wayang bisa lebih jernih mendefinisikan, dibandingkan hal apapun, apa artinya menjadi orang Jawa. Bagi mereka wayang bukanlah sekedar kesenian yang berfungsi sebagai hiburan dan tontonan saja, tetapi juga mempunyai makna sebagai simbol perilaku kehidupan manusia. Didalamnya terdapat suri tauladan manusia karena terdapat pergumulan antara “benar dan salah” yang diakhiri dengan pihak benar. Lebih jauh lagi wayang juga mengandung arti mengungkapkan gambaran hidup semesta (wewayanganing urip) dan kehidupan manusia berserta segala masalahnya.
Satu personifikasi yang sangat dekat dengan masyarakat Jawa adalah tokoh punakawan yang terdiri atas Semar, Nala Gareng, Petruk dan Bagong, para tokoh yang selalu ditunggu dalam setiap pagelaran wayang di Jawa. Meskipun sebenarnya tokoh punakawan tidak terapdat dalam naskah wayang asli dari India, karena setiap tokoh yang sengaja dibuat sedemikian rupa mendekati kondisi beragam masyarakat Jawa oleh para wali dalam penyebaran agama Islam. Wayang adalah media efektif untuk menyampaikan misi ini, namun cerita wayang yang diusung dari negara asalnya berdasarkan teologi Hindu, maka para wali menciptakan suatu tokoh yang lebih fleksibel, yang mampu menghibur rakyat namun tidak menyulitkan dalang karena tidak harus selalu terikat pakem. Dalam setiap lakon, punakawan juga berfungsi sebagai pamong “pengasuh” untuk tokoh wayang lain, selain fungsinya sebagai “abdi”. Pamong disini dapat juga diartikan sebagai pelindung mengingat lemahnya manusia dan tiap manusia hendaklah selalu meminta perlindungan terhadap Allah SWT. Nama para punakawan sendiri, yang tidak dapat ditemukan dalam naskah asli dari India, bukanlah sebutan bahasa Jawa asli kuno atau baru. Nama-nama tersebut berasal dari bahasa Arab yang belum berubah dalam penulisan Jawa dan terdapat makna tersendiri dalam setiap nama, yaitu :
a. Semar, dari bahasa Arab Ismar. Kata Ismar dalam pengucapan lidah Jawa menjadi Semar, dari suku kata is dalam ucapan lidah Jawa biasanya menjadi se, misalnya Istambul menjadi Setambul, Islam menjadi Selam, dan seterusnya. Ismar berarti paku, berfungsi sebagai pengokoh yang goyah, ibarat ajaran Islam yang didakwahkan oleh Walisongo di seluruh kerajaan Majapahit yang pada saat itu sedang bergolak dan diakhiri dengan berdirinya kerajaan Demak oleh Raden Patah.
b. Nala Gareng berasal dari pengucapan lidah Jawa kata Naala Qariin yang berarti memperoleh banyak kawan. Menyiratkan tugas dan kewajiban konsepsional para Walisongo sebagai juru dakwah adalah untuk memperoleh sebanyak-banyaknya kawan untuk kembali ke Jalan Tuhan dengan kebijaksanaan dan harapan yang baik.
c. Petruk berasal dari pengucapan lidah Jawa kata Fat’ruk yang merupakan pangkal kalimat pendek dari sebuah petuah tasawuf yang berbunyi fat’ruk kullu maa siwallaahi; yang artinya “Tinggalkanlah semua apapun selain Allah”. Petuah tersebut kemudian menjadi watak pribadi para wali dan mubaligh pada waktu itu.
d. Bagong berasal dari pengucapan lidah Jawa kata Baghaa yang berarti memberontak. Memberontak terhadap kebathilan atau kemungkaran. Sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa Bagong berasal dari bahasa Arab Bagho (Baqa) yang berarti kekal, kekekalan untuk semua mahluk hidup di akhirat kelak. Tokoh punakawan satu ini memiliki sifat kritis yang tak segan mengkritik dan menyindir segala keadaan yang dianggap tidak benar.
IV. Kesimpulan
Kesenian wayang, selain berasal dari kebudayaan asli Jawa, juga berperan penting sebagai media yang digunakan para penyebar agama Islam di Jawa pada masa lalu. Karena ditangan para wali, didalam kesenian wayang dimasukkan nilai-nilai moral dan etika Islam yang kemudian diajarkan secara halus melalui kesenian tersebut. Sehingga masyarakat pada masa itu tidak merasa bahwa mereka sedang diajari, dengan kata lain tidak merasa digurui oleh para wali, terutama masyarakat yang berasal dari status sosial yang tinggi. Berkat bantuan kesenian dalam menyebarkan agama Islam menjadi lebih fleksibel dan lebih mudah dipahami, juga mampu mencakup semua golongan masyarakat yang pada masa Hindu-Buddha tidak tersentuh, sehingga Islam pada masa itu dapat dengan mudah menarik perhatian orang yang mengakibatkan masyarakat berbondong-bondong memeluk Islam.
V. Penutup
Demikian makalah ini kami buat. Kami menyadari bahwa makalah yang kami susun ini masih banyak terdapat kekurangan baik dari segi tulisan maupun dari referensi yang diperlukan. Untuk itu kami berharap kritik dan saran yang bisa membangun demi kesempurnaan makalah kami berikutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amiin..
DAFTRA PUSTAKA
Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2000
M. Hariwijaya, M. Hariwijaya, Islam Kejawen, , 2006, Yogyakarta: Gelombang Pasang.
Mark R. Woodward, Islam Jawa Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, 1999 Yogyakarta : LkiS.
Ridin Sofwan dkk, Merumuskan Kembali Interelasi Islam-Jawa, , 2004, Yogyakarta : Gama Media.
Sunarto, Seni Gatra Wayang Kulit Purwa, 1997, Semarang: Dahara Prize.
Suwardi Endraswara, Buku Pinter Budaya Jawa Mutiara Adiluhung Orang Jawa, 2005, Yogyakarta : Gelombang Pasang.
http://id.wikipedia.org/wiki/seni-tradisional.16-Oktober-2009
INTERELASI NILAI JAWA DAN ISLAM
DALAM BIDANG KESENIAN PEWAYANGAN
Makalah
Disusun guna memenuhi tugas
Mata kuliah : Islam dan kebudayaan Jawa
Dosen Pengampu : Bpk. Abu Rohmat
Disusun Oleh:
Dzan Nurain : 073111054
Maslihan : 073111057
Zudit Tiara Ch. : 073111058
A.Fauzi Annuzul : 073111059
Ulin Nailatul M. : 073111061
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2010